Rabu, 09 Juli 2008

Jawa Timur antara yang haus dan kehausan

Perekonomian Jawa Timur dihadapkan pada berbagai tantangan yang tidak semuanya sepaham dan sepakat. Bila bicara tentang kesejahteraan, kemiskinan, produktivitas dan rasa aman , maka orang Jatim menyatakan tidak banyak orang lapar dan kelaparan. Pada dasarnya wilayah ini kelebihan banyak hal mulai dari beras, gula, daging ayam, telur ayam dan masih banyak lagi bila dihitung dari angka statistik.

Orang Trenggalek yang makan singkong , tepung-tepungan yang berasal dari umbi, dan soto seharga 3000-an (nasi + teh hangat) dibilang dibawah garis kemiskinan. Ukuran siapa itu ?

Perbedaan sering terjadi manakala ukuran "pusat" atau "global" digunakan untuk mengukur atau memperbandingkan jatim dengan wilayah "diseberang sana" yang mempunyai cara dan budaya berbeda.

Bagaimana mungkin ekonomi se ‘raksasa’ Jatim dibilang menimbulkan ketimpangan kesejahteraan dan menjadi propinsi dengan kemiskinan terbesar ( 21 % ) dari penduduknya yang 38 juta jiwa ? Padahal nilai tambah ekonomi per-tahun-nya diatas 600 trilyun rupiah. Di Jatim uang beredar 5 - 7 kali lipat, aset pemerintah diatas 30 trilyun rupiah dan kalau dihitung dengan cermat asset dan kekayaan masyarakat diatas 15 ribu trilyun rupiah. Adakah paradox itu terlihat dari anggaran belanja daerah yang hanya 5.7 triliun ? ataukah hampir 70 persen anggaran itu hanya dihabiskan untuk dan oleh birokrasi ?

Apakah wilayah ini miskin ? Coba lihat pajak – cukai – pajak badan usaha – perorangan dan semua setoran ke pusat yang mencapai 100 trilyun rupiah ( seperlima penerimaan Negara ) belum termasuk setoran hasil minyak dan gas. Hasil tambang minyak saja mencapai 50 ribu barrel per hari, ditambah gas dan hasil lainnya yang bernilai 25 triliun rupiah setahun. Padahal ada potensi sampai 4 kali lipatnya dalam 4-5 tahun mendatang.

Saat ini Jatim menghasilkan ekspor "hanya" diatas 110 triliun rupiah/tahun (seperlima ekspor Singapore) dan impornya sekitar 80 triliun rupiah. Tapi, kenapa saat ini lebih dari sejuta orang menganggur ? Terlebih lagi yang menganggur itu hasil didikan – output (makan) sekolahan .

Infrastruktur

Pengembangan masih belum bisa sejalan dengan kebutuhan dan hasil penyiapan tenaga serta investasi yang belum imbang. Kegiatan terbesar masih dan akan masih tertumpu pada matarantai pertanian pangan dan non pangan – perikanan – peternakan – perkebunan dan kehutanan yang masih dan selalu dianggap remeh, sekalipun sudah ditetapkan jadi pusat potensi pengembangan Jatim di masa depan. Garis pantai yang 2000 km dan lahan yang lebih dari 6 juta ha juga belum mampu menampung daya kreasi dan daya ungkit untuk menarik tenaga muda dalam dunia produksi dan jasa layanannya.

Setiap tahun ada 1 juta sepeda motor dan 40 ribu mobil baru masuk Jatim, tapi kemana tambahan jalan itu ? kemana juga dana yang menjadi penyusun APBD itu ? kenapa tidak ada tambahan waduk – embung – saluran irigasi yang setara untuk meningkatkan produksi padi dan tanaman pangan lainnya ? Jatim haus infrastruktur dan masyarakatnya sebagian terbesar belum terjangkau infrastruktur usaha.

Kemampuan membangun niat dan semangat ’berusaha’ masih di dominasi oleh minat jadi pegawai – pegawai negeri yang selalu jadi sumber antrian terpanjang dalam pencarian pekerjaan. Dimana awalnya ?

MIND SET – cara pandang dan cara mendidik yang masih belum berorientasi pada entrepreneurship menjadikan sekolah diburu untuk jadi status impian, lulus dan masuk perguruan tinggi "impian". Padahal hanya 8 -10 % saja lulusan sekolah menengah yang mampu masuk ke perguran tinggi. Ketrampilan kerja dan berpikir untuk bekerja mandiri dadn masuk dalam dunia bisnis masih tidak tersentuh oleh proses belajar dan perkembangan generasi muda.

Agenda besar ekonomi Jatim semakin jelas kalau dilihat dari masih banyaknya pekerja dan usahawan yang belum produktif, ini berarti masih banyak orang yang hanya mengelola kurang dari 10 juta rupiah sebulan dan menuntut gaji 1 juta rupiah lebih. Pada sisi lain seorang penjual pecel mengelola 1 juta rupiah sehari dengan menjual 200 bungkus sehari pecel dengan tempe goreng – ayam atau empal, pada saat break event pointnya hanya 60 bungkus, juga seorang petani muda yang menanam melon misalnya, menunggu 70 hari dengan modal 3.5 juta bisa mendapatkan 90 juta bila panen melonnya berhasil.

Apakah diperlukan seorang gubernur hebat ?
Jawa Timur hanya butuh seorang motivator – entrepreneur dan investor yang berani dan tulus. Pemimpin yang mampu memberi teladan dan mampu memimpin dengan ketulusan agar orang lain mampu ikut dengan ide besar dan mampu menjamin gagasan dan ke-pengikutan-nya tidak dikhianati. Bayangkan Singapore ( 5 juta penduduk) yang tidak punya resource, hanya hidup dari services dan hanya 2 kali lebih luas dari Surabaya mampu menghasilkan diatas 500 triliun rupiah dalam GDP yang hampir sama dengan Jatim yang punya 38 juta penduduk.

Ekonomi Jatim harus berfokus pada masyarakat ( people). Kalau saja tambahan 5 juta perempuan bekerja ( lebih) produktif dan 1 juta pencari kerja ( kehausan kesempatan kerja) menjadi setara penanam melon atau penjual sate ( sekitar 1 juta rupiah per hari kemampuan memutar uangnya) maka ekonomi Jatim akan dua kali ekonomi Singapore. Kalau saja setiap lulusan SMA dan SMK dipersiapkan untuk mengelola 1 juta rupiah sehari, setiap sarjana mengelola 10 juta rupiah sehari setara seorang agen koran yang mampu jual 500 koran sehari, maka produktivitas Jatim akan melipat dua kali lipat tanpa harus mengandalkan atau bergantung pada APBD.

Karena itu yang ditunggu adalah pemimpin yang mampu menggerakkan etos kerja dan menjamin uang rakyat kembali dalam bentuk infrastruktur usaha – infrastruktur kelembagaan sampai sarana fisik untuk bertani – berdagang dan berwisata. Perlu pemimpin berwawasan usaha dan bukan pelahap APBD.

Tidak ada komentar: